Izin Perceraian Bagi PNS. Wajib memperoleh izin lebih dahulu dari Pejabat. Bagi Pegawai Negeri Sipil (selanjutnya disingkat PNS) ketentuan tersebut diatur dalam Peraturan Pemerintah nomo 10 tahun 1983 pasal 3 ayat (1) yang telah diubah dengan Peraturan Pemerintah nomor 45 tahun 1990 pasal 3 ayat (1) dan bagi anggota Tentara Nasional Indonesia (selanjutnya TNI) diatur dalam Pasal 9 ayat (1) Peraturan Menteri Pertahanan Nomor 23 Tahun 2008 yang sebelumnya diatur dengan Peraturan Panglima TNI No. Perpang/11/VII/2007, sedangkan untuk anggota Kepolisian Republik Indonesia (selanjutnya disingkat POLRI) diatur dalam Pasal 18 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia nomor 9 tahun 2010, bagi yang ingin mengajukan Gugatan Cerai atau Permohoan Cerai Talak.
Perbedaan peraturan-peraturan tersebut di atas pada dasarnya hanyalah mengenai limit ataupun tenggang waktu yang diperlukan untuk mengurus izin dari pejabat yang berwenang atasan. Dalam Peraturan Pemerintah nomor 10 tahun 1983 pasal 5 ayat (2) yang telah diubah dengan Peraturan Pemerintah nomor 45 tahun 1990 pasal 12 limit atau tenggang waktu yang diberikan untuk mengurus izin yang dimaksud disebutkan dengan tegas yaitu 3 bulan, sebaliknya dalam Peraturan Menteri Pertahanan Nomor 23 Tahun 2008 dan Peraturan Panglima TNI Nomor Perpang/11/VII/2007 tanggal 4 Juli 2007 serta Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia nomor 9 tahun 2010 limit atau tenggang waktu yang dimaksud tidak diatur sama sekali.
Berkenaan dengan hal tersebut mantan panglima TNI Endriartono Sutarto mengatakan “agar memberi kepastian hukum bagi prajurit TNI, memang perlu ada revisi Peraturan Panglima TNI yang mengatur tata cara perceraian prajurit. yaitu perlu ada “tenggat waktu “ bagi atasan untuk mengeluarkan izin sejak prajurit menyampaikan permohonan permintaan izin”, namun dalam kenyataannya sampai saat ini revisi yang diharapkan oleh mantan panglima TNI tersebut belum ada.
Meskipun ketentuan mengenai tenggang waktu pengurusan izin atasan/pejabat sebagaimana tersebut di atas tidak diatur, selama ini Majelis Hakim khususnya Hakim Pengadilan Agama tetap memberikan toleransi kepada Penggugat atau Pemohon yang merupakan anggota TNI/POLRI untuk mengurus izin atasan/pejabat dimaksud paling lama 6 (enam bulan). Pertimbangan waktu 6 (enam) bulan tersebut pada prinsipnya bukan karena berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung No.5 Tahun 1984 karena SEMA tersebut untuk Pegawai Negeri Sipil, akan tetapi karena pertimbangan asas kepatutan dimana jika Penggugat atau Pemohon yang notabenenya Anggota TNI/POLRI beritikat baik untuk menghormati institusinya, maka waktu 6 (enam) bulan tersebut tentu akan cukup untuk kepengurusan izin yang dimaksud. Akan tetapi sebaliknya jika anggota TNI/POLRI termasuk juga Pegawai Negeri tersebut tidak memiliki sikap hormat atau tidak berkeinginan untuk menghargai aturan institusinya maka meskipun waktu yang diberikan sepuluh kali lipat dari 6 bulan tersebut di atas tentulah tidak akan cukup, apalagi bila dari awal persidangan yang bersangkutan sudah mengatakan tidak akan mengurus surat izin tersebut serta menyatakan sanggup menanggung segala resikonya.
Kebijakan yang diambil oleh Majelis tersebut ternyata tidak diterima oleh institusi TNI, Panglima TNI pada 20 September 2010 telah mengirim surat kepada Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia yang isinya antara lain menghimbau agar hakim-hakim di peradilan agama tidak mempermudah proses cerai dan poligami para anggota TNI.
Sebelumnya pada tahun 2006 Institusi TNI juga telah mengeluarkan BUKU PETUNJUK TEKNIS tentang NIKAH TALAK CERAI DAN RUJUK (Diberlakukan dengan Surat Keputusan Kepala Staf Angkatan Darat nomor Skep /491/XII/2006 tanpa tanggal dan bulan tahun 2006) yang dalam Bab IV telah mengatur tentang HAL-HAL YANG PERLU DIPERHATIKAN antara lain sebagai berikut :
a. Pejabat Agama. Dalam hal …………………………………………. Kabintal Korem.
b. Gugatan perceraian yang tidak melalui Prosedur Kedinasan. Dalam hal isteri atau suami yang bukan Anggota TNI mengajukan gugatan perceraian langsung ke Pengadilan (tanpa adanya surat izin dari pejabat berwenang), maka satuan yang bersangkutan dapat mengajukan surat keberatan kepada Pengadilan yang bersangkutan terhadap proses pengadilan yang sedang berlangsung atau kepada pengadilan Tata Usaha Negara terhadap putusan Pengadilan yang dijatuhkan. Adapun dasar yang digunakan adalah :
1. Peraturan Pemerintah nomor 9 tahun 1975 tentang pelaksanaan Undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan Bab X Penutup yang menyatakan bahwa Pengaturan tentang perkawinan dan perceraian khusus bagi Anggota Angkatan Bersenjata diatur lebih lanjut oleh Menhankam/Pangab.
2. Surat pernyataan kesanggupan menjadi Isteri/Suami Anggota TNI AD yang dibuat pada saat mengajukan pernikahan dengan menyatakan bersedia mematuhi dan tunduk kepada peraturan pernikahan, perceraian, dan rujuk yang berlaku di Lingkungan TNI AD.
Akibat tenggang waktu untuk mengurus izin perceraian dari atasan/pejabat bagi anggota TNI/POLRI tidak diatur dan Majelis Hakim dianggap memutuskan perkara dengan menganalogkan kepada aturan percerai PNS, maka sebagaimana yang dapat dilihat dalam berbagai blog di internet ada beberapa ahli hukum yang mengeluarkan pendapat dimana pendapat tersebut sudah mengarah kepada doktrin sehingga dapat mempengaruhi kebebasan hakim dalam memutuskan perkara, padahal yang harus bertanggungjawab untuk memenuhi rasa keadilan masyarakat serta bertanggung jawab di hadapan tuhan adalah hakim yang memutuskan perkara itu sendiri.
Sebagian dari pendapat-pendapat ataupun doktrin-doktrin yang disampaikan oleh ahli-ahli hukum tersebut saat ada yang dituangkan kedalam satu rumusan sebagaimana yang Penulis Copy dari internet seperti berikut ini :