Perjanjian Perkawinan Terbaru
Setiap Warga Negara Indonesia yang menikah dengan Warga Negara Asing, sebelumnya jika ingin memiliki Hak Milik tentu tidak di perkenankan jika tidak memiliki perjanjian perkawinan pemisahan harta sebelum Menikah. berdasarkan Pasal 35 UU Perkawinan yang menyatakan bahwa harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. Jadi, ada percampuran harta yang diperoleh setelah perkawinan, dan pasangan Anda (yang berstatus WNA) akan turut menjadi pemilik atas harta bersama tersebut. Sedangkan merujuk pada ketentuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, WNA tidak boleh memiliki Hak Milik, Hak Guna Usaha ataupun Hak Guna Bangunan.
Dengan demikian ketika seorang WNI yang menikah dengan WNA, setelah menikah tidak bisa lagi memperoleh Hak Milik, atau Hak Guna Bangunan, atau Hak Guna Usaha, karena akan menjadi bagian dari harta bersama yang dimilikinya dengan pasangan WNA-nya. Apabila Anda ingin tetap memiliki hak atas tanah setelah melakukan Pernikahan dengan WNA tersebut, maka Anda harus membuat perjanjian Nikah atau juga yang dikenal dengan sebutan perjanjian pranikah yang mengatur mengenai pemisahan harta antara WNA dan WNI.
Mengenai Perjanjian ini yang terbaru boleh dibuat pada waktu, sebelum, atau selama dalam ikatan Pernikahan. Hal ini telah diatur dalam Pasal 29 UU Perkawinan jo. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015:
- Pada waktu, sebelum dilangsungkan, atau selama dalam ikatan perkawinan, kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengajukan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai pencatat perkawinan atau notaris, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.
- Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan.
- Perjanjian tersebut mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan, kecuali ditentukan lain dalam Perjanjian Perkawinan.
- Selama perkawinan berlangsung, perjanjian perkawinan dapat mengenai harta perkawinan atau perjanjian lainnya, tidak dapat diubah atau dicabut, kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk mengubah atau mencabut, dan perubahan atau pencabutan itu tidak merugikan pihak ketiga.
Berdasarkan Surat Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri Nomor: 472.2/5876/DUKCAPIL tanggal 19 Mei 2017, perjanjian perkawinan dapat dibuat sebelum, pada saat, dan selama pernikahan berlangsung dengan akta notaris dan dilaporkan kepada Instansi Pelaksana atau Unit Pelaksana Teknis (“UPT”) Instansi Pelaksana. Terhadap pelaporan perjanjian pernikahan tersebut, Pejabat Pencatatan Sipil pada Instansi Pelaksana atau UPT Instansi Pelaksana membuat catatan pinggir pada register akta dan kutipan akta pernikahan.