Advokat dan Persepsi Masyarakat

Advokat dan Persepsi Masyarakat

Advokat dan Persepsi Masyarakat

Merupakan sebuah kehormatan bagi saya untuk membahas mengenai pengelolaan kantor hukum (lawfirm), atau kantor seorang atau para advokat. Namun, kantor hukum yang akan di bahas kali ini adalah hanya kantor hukum non litigasi. Sebelum memasuki materi ini, saya mengutip sebuah kalimat yang pernah dikatakan oleh Thomas Jefferson pada tahun 1808: No profession in open to stronger anthipaties than that of the law. Kesan umum adalah demikian. Berbagai ungkapan sinis tentang advokat dari berbagai quotation dapat kita peroleh dengan mudah sampai dengan tulisan Shakespeare yang dikenal : The first thing we do, let’s kill all the lawyers. 

Sekarang ungkapan itu bisa diartikan pada dua hal. Pertama, karena kurangnya pengetahuan masyarakat sehingga mengangap advokat hanya membuat gaduh. Ini bisa berasal dari  persepsi salah, bahwa khusus untuk litigsi, seorang dituduh mutlak salah dan karena itu tidak boleh dibela. Kedua, bisa juga karena kekaguman masyarakat akan profesi hukum itu, ibarat orang tua yang selalu mengatakan tentang anakanya kepada orang lain: “ah anak saya nakal”.

Namun bagaimanapun, advokt kini menjadi profesi yang diakui dan dibutuhkan. Untuk bidang non litigasi misalnya, terbukanya sistem ekonomi kita di tahun 1967, dengan kelahiran UU No. 1 Tahun 1967 tentng Penanaman Modal Asing membuka mata akan pentingnya arti advokat pada era pembangunan ini. Sejak saat itu dimensi baru profesi advokat menjadi keniscayaan. Oleh karena itu jika Wakil Presiden Jusuf Kalla baru-baru ini mengatkan bahwa tanpa saudagar pembangunan tidak akan berhasil, Seorang pengusaha akan terbuka matanya jika ia disuluhi oleh Advokat. Coba kita bayangkan bagaimana jadinya dunia usaha tanpa adanya advokat.

Sebagai profesi, para advokat memerlukan pengawasan demi menjaga dan mempertahankan integritas serta kredibilitas mereka dalam berinteraksi di masyarakat. Kede etik, salah satu instrumen pengawasan itu hanya dapat diadakan dan diterapkan oleh organisasi profesi. Itulah sebabnya adanya keharusan bagi advokat untuk bergabung ke dalam organisasi yang saat ini dikenal bernama Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI). Keanggotaan yang bersifat individual ini tidak ada hubungan dengan keanggotaan tersebut dalam kantor-kantor hukum, seperti yang akan di uraikan selanjutnya. Sumber: Buku Manajemen Kantor Advokat di Indonesia (Lawfirm Management in Indonesia)

Mungkin Anda Menyukai

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

WhatsApp chat